• Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Informasi Iklan
  • Box Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Terms of Service
Sabtu, Oktober 25, 2025
  • Home
  • Berita
  • Kriminal
  • Olahraga
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Lainnya
No Result
View All Result
Potret Sukabumi
  • Home
  • Berita
  • Kriminal
  • Olahraga
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Lainnya
No Result
View All Result
Potret Sukabumi
No Result
View All Result

Emosi tak pernah menang dari logika

Emosi tak pernah menang dari logika

potretsukabumi by potretsukabumi
Oktober 24, 2025
in retorika
0
Emosi tak pernah menang dari logika
0
SHARES
1
VIEWS
Share on WhatsappShare on Facebook

Potret Sukabumi,- Kemarahan seringkali terasa seperti kekuatan. Suara meninggi, wajah tegang, dan kata-kata tajam membuat kita merasa sedang “menguasai situasi”. Tapi justru di saat itulah, kendali berpindah dari logika ke emosi. Menariknya, penelitian dalam Journal of Behavioral Decision Making menunjukkan bahwa seseorang yang berbicara dalam kondisi marah kehilangan hingga 70% kemampuan berpikir rasionalnya. Artinya, setiap kata yang diucapkan dalam kemarahan lebih sering menghancurkan hubungan daripada membangun pemahaman.

Kita sering melihatnya di ruang kelas, rapat kantor, bahkan di rumah. Seorang guru membentak murid yang tak fokus. Seorang atasan meninggikan suara pada bawahan yang terlambat. Seorang pasangan menegaskan pendapat dengan nada marah. Hasilnya hampir selalu sama: diam, takut, tapi tak ada perubahan berarti. Sebab manusia tidak belajar dari kemarahan, melainkan dari penjelasan yang tenang.

  1. Emosi membuat logika tertutup

Dalam psikologi kognitif, dikenal konsep amygdala hijack—saat emosi mengambil alih fungsi berpikir rasional otak. Ketika marah, bagian otak depan yang bertanggung jawab atas penalaran (prefrontal cortex) menurun aktivitasnya. Akibatnya, seseorang sulit membedakan mana kata yang membangun dan mana yang melukai. Dalam percakapan, ini menyebabkan perdebatan beralih dari mencari solusi menjadi saling serang.

Contoh sederhana terlihat ketika dua rekan kerja berbeda pendapat. Yang satu mulai meninggikan suara, yang lain ikut terbakar. Diskusi produktif berubah menjadi adu ego. Padahal jika keduanya menahan diri sebentar, memberi jeda sebelum merespons, masalah akan selesai tanpa luka batin. Itulah mengapa di LogikaFilsuf, kami sering membedah cara mengelola emosi agar pikiran tetap jernih dalam situasi tegang—sebuah konten eksklusif yang mengajarkan seni berpikir di tengah badai emosi.

  1. Marah mengundang perlawanan, bukan penerimaan

Kemarahan membuat lawan bicara menutup telinga. Saat nada meninggi, insting manusia bukan mendengarkan, tapi bertahan. Ini sebabnya mengapa banyak guru, orang tua, atau pemimpin merasa “tidak didengarkan” meski berbicara keras. Otak manusia tidak menerima pesan dari ancaman, tapi dari rasa aman.

Di ruang kelas misalnya, ketika murid ditegur dengan nada keras, mereka mungkin diam. Tapi diam bukan tanda mengerti, melainkan takut. Jika teguran yang sama disampaikan dengan tenang, disertai alasan dan empati, murid lebih mudah memahami. Karena logika hanya tumbuh dalam ketenangan.

  1. Kata yang tenang lebih mengubah perilaku

Penelitian dari University of California membuktikan bahwa komunikasi dengan nada tenang membuat pesan lebih mudah diingat hingga tiga kali lipat dibanding saat disampaikan dengan nada tinggi. Ketika kita bicara dengan kontrol diri, bukan hanya isi pesan yang sampai, tapi juga rasa hormat.

Contohnya sederhana. Seorang pemimpin yang menegur dengan kalimat “Saya ingin tahu kenapa tugas ini belum selesai” membuka ruang dialog. Sedangkan yang berkata “Kenapa kamu selalu lambat?” menutup ruang komunikasi. Logika tumbuh di ruang terbuka, bukan di bawah tekanan emosi.

  1. Emosi sering membuat pesan kehilangan makna

Saat marah, fokus kita bergeser dari substansi ke pelampiasan. Kata-kata yang keluar sering tidak lagi relevan dengan masalah utama. Itulah sebabnya banyak konflik pribadi bermula dari hal kecil, tapi membesar karena emosi mengambil alih arah pembicaraan.

Coba perhatikan pertengkaran dalam hubungan sehari-hari. Masalah sepele seperti “lupa mengabari” bisa berujung saling menyalahkan karena kemarahan memperluas konteks. Padahal jika diurai dengan tenang, yang dibutuhkan hanyalah klarifikasi, bukan konfrontasi.

  1. Mengendalikan emosi adalah tanda kedewasaan berpikir

Filsuf Stoik seperti Seneca menegaskan, “Orang yang marah selalu menjadi budak bagi dirinya sendiri.” Dalam dunia modern, ini sejalan dengan konsep emotional intelligence. Kecerdasan emosional bukan tentang tidak marah, tapi tahu kapan dan bagaimana menyalurkan kemarahan agar tidak menghancurkan relasi.

Kedewasaan bukan ditandai dari seberapa keras seseorang bicara, tapi seberapa kuat ia menahan diri saat bisa melawan. Orang yang menguasai logika akan memilih diam sesaat, mengatur napas, lalu berbicara dengan tujuan memperbaiki, bukan melampiaskan.

  1. Ketika logika menang, hubungan manusia membaik

Orang yang berbicara dengan kepala dingin lebih dipercaya. Mereka dianggap bijak karena tidak reaktif. Dalam dunia pendidikan, pemimpin, bahkan hubungan keluarga, mereka yang tenang di tengah tekanan menjadi pusat gravitasi sosial—orang yang mampu meredakan, bukan memperkeruh.

Lihat bagaimana guru yang sabar menghadapi murid sulit seringkali justru paling dihormati. Karena yang membuat orang tergerak bukan kerasnya suara, tapi kedalaman makna di balik kata. Ketenangan adalah bentuk kecerdasan tertinggi dalam komunikasi manusia.

  1. Diam kadang lebih rasional daripada debat panas

Tidak semua pertentangan harus dihadapi dengan argumen. Kadang, diam adalah bentuk penguasaan diri yang paling elegan. Dengan diam, kita memberi ruang bagi logika untuk kembali bekerja, memberi jeda agar emosi reda, dan menghindari kata-kata yang disesali.

Seorang guru bijak tahu kapan harus bicara, dan kapan cukup menatap dengan makna. Dalam dunia yang penuh reaksi cepat, ketenangan adalah revolusi sunyi. Dan di sanalah kemenangan logika atas emosi sesungguhnya terjadi.

Jika kamu pernah merasa gagal mengendalikan emosi saat berbicara, renungkan kembali: siapa yang sebenarnya kalah? Tuliskan pandanganmu di kolom komentar, dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang belajar bahwa kemenangan sejati bukan terletak pada suara yang keras, tapi pada pikiran yang tetap jernih.

Source: fb. logika filsuf
Tags: logika
Previous Post

Diskominfosan Dorong Literasi Digital Lewat Pelatihan Pemuda di Desa Gede Pangrango

Next Post

ingin menguasai percakapan, kuasai ritmenya

potretsukabumi

potretsukabumi

Related Posts

Tidak perlu berbicara keras, kuasai ritme berpikir dan berbicara
retorika

Tidak perlu berbicara keras, kuasai ritme berpikir dan berbicara

ingin menguasai percakapan, kuasai ritmenya
Lainnya

ingin menguasai percakapan, kuasai ritmenya

Tips agar dihormati tanpa harus jabatan tinggi
retorika

Tips agar dihormati tanpa harus jabatan tinggi

Next Post
ingin menguasai percakapan, kuasai ritmenya

ingin menguasai percakapan, kuasai ritmenya

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

I agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.

Potret Sukabumi

Media Potretsukabumi.com merupakan Portal Berita Online yang selalu siap sajikan pemberitaan yang berimbang dengan mengedepankan fakta yang ada.

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Informasi Iklan
  • Box Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Terms of Service

Copyright by: Potretsukabumi.com @2024

No Result
View All Result
  • Nasional
  • Seputar Pemda/Pemkot Sukabumi
  • Seputar Hukum
  • Kriminal
  • Olahraga
  • Ekonomi
  • Destinasi Wisata
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Kebudayaan
  • Politik
  • Lainnya
  • Teknologi
  • Foto
  • Gadget
  • Games
  • Tips & Trick

Copyright by: Potretsukabumi.com @2024

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.